Sungai Cikeas Dalam Kenangan

Sungai Cikeas Dalam Kenangan

Sebelum masa pak SBY berkuasa di negeri ini, siapa yang mengenal nama sungai ini? Selain kami warga yang hidupnya di aliran Sungai cikeas, sungai ini mungkin terdengar asing.

Tapi tidak bagiku, jauh sebelum tenar dikenal sebagai nama tempat tinggal mantan orang nomor satu di negeri ini (Puri Cikeas Indah) sungai Cikeas adalah taman bermainku, bersama teman-teman tak terhitung hari yang ku habiskan di sana, dari berenang sampai mencari kecebong.

Sudah habis kata dan omelan emak yang selalu mengingatkan aku untuk tidak terlalu sering-sering bermain di sungai ini, tapi menuruti perintah emak bukanlah pilihan, meski emak kadang mencuci baju bahkan mencuci piring di sungai ini, ia tetap khawatir kalau kami bermain terlalu lama apalagi tanpa di dampingi orang dewasa.

Air sungai Cikeas yang dulu tak seperti sekarang, keruh, pekat bercampur limbah pabrik.

Dulu masyarakat pinggiran sungai memanfaatkan nya untuk keperluan sehari-hari, mencuci baju, piring bahkan beras di lakukan di sungai, saat itu airnya masih bersih dan layak pakai.

Sebagai generasi delapan puluhan aku bersyukur mengalami momen tak terlupakan di sini, di sungai Cikeas, medio sembilan puluhan air sungai mulai mengalami perubahan serius.

Berenang, salto berbagai gaya dengan melompat dari pohon jambu biji di tepi sungai bahkan mengikuti pergerakan biawak pernah ku lakukan di sungai ini, masa kecilku benar-benar 'ngebolang'

Aahh! Aku jadi ingat teman-teman masa kecil, kami putus kontak setelah aku pindah rumah dan menetap di tempat yang sekarang, ayah ibuku masih mengontrak ketika itu, cukup banyak teman berpetualang di Cikeas, kemana dan di mana sajakah mereka sekarang yaa...!? 

Kami berkelompok lebih dari sepuluh orang, sampai-sampai aku lupa namanya satu persatu, yang masih ku ingat Ira dan Dewi karena cuma kami bertiga anak perempuan.

Ada tiga kejadian penting di sungai ini yang masih teringat jelas dalam memoriku, sebagai anak kelas empat  SD, di satu sore saat asyik bermain di sungai kemudian bermain salto dari pohon jambu layaknya atlet lompat indah, ketika badanku muncul ke permukaan, ternyata! Tanpa terasa sebuah beling! kaca pecahan gelas sudah menancap di jidatku, darah mengucur deras di wajahku, seketika semua teman panik dan memanggil ibu-ibu yang sedang mencuci, mencari pertolongan.

Lebih dari seminggu aku pergi kesekolah dengan perban di kepala layaknya korban perang, meski lumayan dalam lukanya, kejadian itu tak membuatku jera.

Pernah juga suatu hari saat sedang asyik bermain di sungai, tak ada hujan, meski langit terlihat mendung, air sungai yang sebelumnya jernih tiba-tiba berubah, berwarna menjadi coklat pekat. 

Seorang bapak bernama pak Daud berteriak kepada kami anak-anak untuk segera naik ke darat, tak di nyana selang beberapa menit, gelombang air yang besar tiba-tiba datang.

Untuk pertama kalinya aku melihat banjir bandang, meski skala kecil, tidak menggulung sampai ke kampung, potongan kayu-kayu besar terbawa air, deru dan laju air seakan tak terbendung, hari itu  di daerah hulu sungai Cikeas ternyata sedang turun hujan yang sangat deras.

Dua minggu lebih kami absen ke sungai Cikeas, orangtua melarang anak-anak ke sungai, kali ini saya patuh, karena pemandangan yang kami lihat cukup mengerikan. Tuhan masih melindungi kami.

Puncak dari kenangan ku di Cikeas adalah ketika aku hanyut di sini, sejauh hampir 500 meter. Sayup-sayup ku dengar teriakan teriakkan teman-teman meminta tolong, setelah itu semuanya gelap, dan akupun terlelap. 

Tubuhku beberapa meter saja terpaut dari sebuah "leuwi" yaitu palung sungai dalam bahasa sunda, pusaran air yang akan menelan apa saja yang masuk kedalamnya, sejurus saja aku berhasil masuk leuwi nyawaku tak terselematkan. Lagi-lagi pak Daud menyelamatkan, beliau adalah seorang pencari bambu, menurut saksi-saksi kejadian hari itu, dengan susah payah pak Daud mengejar dan meraih aku.

Tubuhku lemas, membiru, bola mataku tak terlihat, mataku putih semua, berita tersebar dengan cepat seorang anak hanyut di sungai Cikeas, rumahku di penuhi orang dari mana-mana seolah ada tontonan gratis.

Nafas buatan entah dari siapa di lakukan. Sampai akhirnya aku tersadar, Aku masih boleh hidup, Tuhan melindungiku lagi kali ini, dua kali aku berhutang nyawa pada pak Daud.

Sesuai keyakinan masyarakat saat itu, demi membuang bala, bajuku satu lemari, semuanya tak di sisakan kecuali yang di pakai di badan, di buang kesungai Cikeas. 

Dengan memberikan bajuku kesungai, konon  penunggu sungai tak akan mencari aku lagi, sedekah air juga di lakukan, di depan pintu rumahku di siapkan berteko-teko air yang boleh di minum oleh siapa saja yang lewat. 

Sungai Cikeas kini seakan tak berupa, tak ada lagi keceriaan anak-anak yang bergembira bersamanya, ia kini terlihat ramping tak selebar dan segendut dulu,  setiap kali melewati jalan raya yang bersinggungan dengannya kenangan masa kecilku di sana, seakan berarak menemuiku, aku rindu masa-masa itu.

Akhir tahun sembilan puluhan ku dengar kabar pak Daud sudah meninggal dunia ...hhh?! semoga Tuhan memberikan tempat terbaik untuk beliau di sisiNya.



Maret, 2016





Komentar

(2)
  1. Masa kecil mba Nunu penuh dengan tradisi. Sayapun baru tahu kalo cikeas itu ada sungai :O

    BalasHapus
  2. Ya Allah sampai hanyut begitu. Alhamdulillah masih diberi kesempatan hidup ya, Mbak. Rumahku juga dekat sungai. Kalau main juga nyolong-nyolong dari orang tua.

    BalasHapus

Posting Komentar